Rabu, 09 September 2009

La Pakerrangi Petta Ponggawa Lolona Sidenreng


Sidenreng Rappang pernah mencatatkan sejarah sebagai kerajaan berdaulat yang pernah melawan hegemoni penjajahan Belanda pada masa pemerintahan La Sadapotto Addatuang Sidenreng XII, dan Arung Rappang XX, Pada tahun 1905. Dimasa itu, ratusan prajurit pemberani gugur akibat terkena peluru senapan dan hunjaman peluru meriam. Belum terhitung rakyat di kerajaan tersebut yang menjadi korban akibat dari dampak peperangan. Perang yang telah mengubah Sidenreng Rappang menjadi medan pertempuran harga diri, harkat martabat (siri') dari para patriot patriot sejati kerajaan tersebut.

Salah seorang aktor yang memegang peranan penting dalam peristiwa itu adalah La Pakerrangi yang akan kami tuliskan riwayat singkatnya berdasarkan catatan yang ditulis oleh Haji La Sikandare' Petta Karaeng Pajujungi Arung ri Amparita (1950-1962).

La Pakerrangi dilahirkan pada tahun 1870, dari ayah bernama Mayoor La Rumpang (Petta Manyoro'E ri Sidenreng) yang berasal dari kampung Maiwa, Enrekang. Beliau tak lain adalah salah seorang Panglima Perang Kerajaan Sidenreng pada era La Panguriseng Addatuang Sidenreng X. Dengan ibu yang bernama I Temmalala, perempuan bangsawan yang berasal dari perkampungan Amparita Lama yang berada pada wilayah Kerajaan Sidenreng pada masa itu.

Pada tahun 1887, ketika masih berumur 17 tahun, menikah dengan perempuan yang bernama I Tangkung Puang Banna, yang biasa dipanggil oleh keturunannya dan masyarakat sekitarnya dengan nama Puatta Daenna. Beliau adalah anak dari keluarga bangsawan La Wettoweng dan Syarifah Sochrah Puatta Indo'na, yang biasa dipanggil dengan nama Puatta Adjie. La Pakerrangi bersama istrinya tinggal di Saoraja BolamamminasaE di kampung Arateng, Sidenreng.

La Pakerrangi telah menampakkan jiwa kepemimpinan ketika masih kecil. Ia sangat menonjol dikalangan rekan-rekan sebayanya sesama anak arung, dan pandai pula memikat hati masyarakat, sehingga orang-orang dari kalangan rakyat biasa sangat mencintainya. Hingga disaat dewasa, beliau terkenal berjiwa patriot, jujur, takwa dan pemberani.

Maka ketika La Sadapotto dinobatkan menjadi Addatuang Sidenreng XII, dan Arung Rappang XX, Iapun mengangkat keponakannya tersebut menjadi pembantunya yang lazim dimasa itu disebut Pabbicara Sidenreng. La Pakerrangi menggantikan Pabbicara La Tinetta yang wafat di Amparita pada tahun 1889. *Jadi jabatan Pabbicara yang berkedudukan di Amparita diperkirakan lowong (15thn) dimasa Sumange'rukka menjadi Addatuang Sidenreng XI.
*[catatan penulis blog berdasarkan kajian dan analisa yang masih bisa diperdebatkan]

Selama memangku jabatan Pabbicara yang berkedudukan di Amparita, La Pakerrangi dikenal sangat dekat pada masyarakat, taat beribadah sesuai dengan ajaran agama islam yg dianutnya, dan suka bermusyawarah dengan Pangulu Anang (Arung/Matowa) serta Pangulu Maranang (Pemuka Masyarakat), sehingga mampu memberikan solusi2 terhadap persoalan2 yang ada di masyarakat dengan keputusan terbaik bagi rakyat. Baik dari segi hukum, pembangunan infrastruktur, maupun persoalan pertanian yang menjadi andalan pada masa itu. Dia pula sangat disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan, karena dalam melaksanakan tugas tugas pemerintahan beliau dikenal tegas, adil dan bijak. Ia mampu mengemban amanah sebagai Pabbicara dengan baik dan lancar.

Adapun tugas-tugas yg pernah diberikan oleh Addatuang La Sadapotto, antara lain membangun hubungan transportasi darat dari Sidenreng ke Pare-Pare, yaitu:

1. Membuat jalan raya dari Allakuang ke Pare-Pare dengan melalui poros Allakuang, Talumae, Cela, Lempong Manila, hingga tembus ke Pare-Pare.
2. Membuat poros jalan Lawawoi, Bangkai, Patommo, Pabbaresseng, sampai ke Pare-Pare.

Pada waktu terjadi perselisihan antara Kerajaan Sidenreng dengan Kerajaan Soppeng, La Pakerrangi dipercayakan untuk memimpin pasukan mendampingi pamannya La Mammo sebagai Panglima, untuk melawan orang-orang Soppeng, dan pulang dengan membawa kemenangan. Kerajaan Sidenreng yang didukung oleh Kerajaan Wajo, sukses memporak-porandakan kerajaan tersebut (Musu Belo).

Pada tahun 1905, ketika Pasukan Belanda telah memasuki kota Pare-Pare, La Pakerrangi diperintahkan oleh La Sadapotto untuk membentengi daerah perbatasan Sidenreng Rappang, agar pasukan Belanda tidak dapat masuk melalui kota Pare-Pare.
Ada 3 jalur yang harus dibendung dan dipertahankan oleh 3 Pabbicara Sidenreng sebagai Pimpinan Pasukan, yaitu:

1. Pabbicara La Mammo. ditempatkan disebelah timur Pare-Pare (jalur tengah).
2. Pabbicara Ambo'na La Badju. ditempatkan di daerah La Djawa (jalur selatan).
3. Pabbicara La Pakerrangi. ditempatkan di Aggalacengnge. Sebelah timur Kerajaan Suppa (jalur utara).

Salah seorang dari 3 Pabbicara ini gugur ketika menjalankan tugasnya. Adalah Pabbicara Ambo'na La Badju yang gugur sebagai pahlawan ketika hendak menghalau pasukan belanda untuk masuk ke wilayah Sidenreng Rappang. Pertahanannya dijalur sebelah selatan bobol akibat pengkhianatan salah seorang Kapten-nya.
*[Lontara; Sidenreng ricau belandae nasaba' bali'na kapitang ..... ]

Berita tentang gugurnya Pabbicara Ambo'na La Badju telah sampai ke Addatuang La Sadapotto, yang dengan segera mengirimkan pesan kepada Pabbicara La Pakerrangi yang berada di front terdepan, agar secepatnya pulang untuk diserahi tugas sebagai Panglima Pasukan Pengawal didalam menjaga keselamatan Addatuang Sidenreng/Arung Rappang La Sadapotto dengan segenap keluarganya.

Tugas ini berakhir setelah Addatuang Sidenreng/Arung Rappang La Sadapotto, menandatangani Pernyataan Singkat dengan pihak Belanda (Korteverklaring) pada tahun 1906, yang menandai kekalahan perang "Kerajaan Kembar" itu dari Pemerintah Kerajaan Belanda. Perang berakhir setelah berlangsung selama ratusan hari.

Dalam suatu kesempatan, Pabbicara La Mammo, Petta MatoaE, Petta PanguluE, Panglima Utama Pasukan Kerajaan Sidenreng Rappang, pernah berkata, "Kalau saya meninggal dunia, hanya La Pakerrangi saja yang bisa menggantikan saya sebagai Panglima". Tapi sejarah kemudian berkata lain. Sebelum dinobatkan menjadi Panglima Tertinggi Kerajaan, La Pakerrangi telah terlebih dahulu wafat daripada La Mammo. Sehingga era Panglima Perang di Kerajaan Sidenreng Rappang berakhir setelah mangkatnya Petta Pabbicara La Mammo Petta PanguluE.

La Pakerrangi wafat di Amparita pada tahun 1917. Menurut penuturan berbagai sumber, beliau telah mengalami sakit sejak lama akibat terluka dalam ketika bertempur dengan pasukan belanda. Beliau menghembuskan nafas terakhir pada usia 47 tahun, dengan didampingi oleh seluruh anggota keluarga yang sangat mencintainya, antara lain: Istri tercinta Puatta Daenna, Mertua perempuannya Puatta Adjie, putranya: Andi Sulolipu, Andi Abu Bakar, Andi Nuruddin yang ketika itu masih berumur dua tahun, dll. Disamping duka yang teramat dalam tersebut, terdapat satu riwayat yang diceritakan oleh keluarganya tentang berita kelahiran cucu pertama dari La Pakerrangi bernama Andi Mappawekke. Bayi laki-laki tersebut adalah anak dari Andi Sulolipu (Putera La Pakerrangi) yang merupakan satu-satunya cucu yang beruntung mendapatkan belaian tangan dari sang kakek. Dan kelak dikemudian hari, cucu pertamanya tersebut akan memerintah Sidenreng sebagai Kepala Pemerintah Swapraja Sidenreng (KPS).

La Pakerrangi dimakamkan dengan upacara kebesaran, sebagaimana layaknya seorang bangsawan tinggi yang pernah menduduki jabatan jabatan penting di pemerintahan. Turut hadir Keluarga Besar Kerajaan Sidenreng yang dihadiri langsung oleh La Cibu Addatuang Sidenreng XIII. Beliau dilepas dengan tangis dan haru oleh keluarga dan masyarakat yang mengaguminya.

Berselang beberapa tahun setelah wafatnya, Andi Sulolipu yang ketika itu menjabat sebagai Pabbicara Amparita, berinisiatif untuk memindahkan Saoraja BolamamminasaE yang ada dikampung Arateng, ke Amparita berdampingan dengan rumahnya sendiri Saoraja Bola Lampe'E. Ini dilakukan agar I Tangkung Puatta Daenna (ibunya) bisa membimbing cucu-cucunya agar kelak menjadi pemimpin. Dan yang lebih utama adalah agar beliau senantiasa berada dalam pengawasan dan limpahan kasih sayang dari anak anaknya.

Jika La Pakerrangi masih hidup, ia akan bangga dengan anak keturunannya. Karena "Wija" dari pahlawan ini adalah pejuang pejuang gigih yang rela mempertaruhkan jiwa dan raganya demi bangsa dan negara. Dua anak La Pakerrangi tercatat dalam Arsip Sejarah Nasional di Sulawesi Selatan, sebagai "Pahlawan Pejuang", yang gugur akibat pembantaian Westerling. Mereka adalah Andi Sulolipu Pabbicara Amparita, dan Haji Andi Abu Bakar. Sementara anaknya yang lain adalah manusia yang berguna di masyarakatnya.
Haji Andi Nuruddin Arung Otting, adalah Penasehat Sidenreng dengan gelar Petta Khadi Sidenreng. beliau dimasanya adalah orangtua bersahaja yang terkenal arif dan bijaksana. Jejak beliau diteruskan oleh putranya yang pernah memerintah Kabupaten Sidenreng Rappang selama 2 periode, yaitu Bapak Haji Opu Sidik (Bupati Sidrap, 1978-1988).
Haji Andi Tjambolang adalah Petta Sulewatang Mallusetasi, yang terkenal cerdik dan pandai. Jejaknya ada pada salah seorang putrinya bernama Andi Tja Tjambolang, mantan anggota DPRD Sulsel 3 periode, dll.

Makam La Pakerrangi Petta Pabbicara Sidenreng, terletak di Komplek Pekuburan Keluarga La Pakerrangi, di Kel. Arateng, Kec. Tellu Limpoe, Kab. Sidrap.

Berkat upaya Bapak Haji Andi Ranggong (Bupati Sidrap, periode 2003-2008), dan dukungan dari segenap keluarga besar La Pakerrangi, telah dilakukan pemugaran besar besaran di areal komplek pemakaman tersebut. Tidak hanya itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidrap, dibawah pimpinan H.A. Ranggong, diawal masa kepemimpinannya, telah pula merehabilitasi rumah peninggalan 2 Pabbicara, yaitu: Saoraja BolamamminasaE milik La Pakerrangi & Saoraja Bola Lampe'E, milik Andi Sulolipu, di Amparita, Sidrap.

SILSILAH LA PAKERRANGI PETTA PABBICARA SIDENRENG

La Pakerrangi adalah putra La Rumpang Petta Manyoro'E ri Sidenreng, dan ibu yang bernama I Temmalala, putri dari La Pakkampi Arung Amparita dari istrinya yang bernama Besse Panreng.

La Rumpang bersaudara kandung dengan La Naki Arung Maiwa, La Coke Arung Maiwa, dan La Babe Sulewatang Maiwa. Mereka adalah putra dari La Toacalo Arung Maiwa dari istrinya yang bernama I Lante Puang Indo Rasa, putri dari La Malluda Arung Salo Dua. La Malluda adalah anak Puang Maimuna yang bersaudara kandung dengan La Tanro Puang Buttu Enrekang V. Puang La Tanro dan Puang Maimuna adalah anak dari Puang La Tanrang Puang Buttu Enrekang IV. hingga berlanjut keatas sampai kepada To Marajuk Puang Buttu Enrekang I, dengan istrinya yang bernama I Tianglangik Landorundun Puang Makale, putri dari Lolo Allo Puang Makale Toraya. To Marajuk putra dari Kota Puatta Enrekang III dan Pasoloi Arung Timbang Ranga.

Dari garis La Toacalo Arung Maiwa (kakeknya), adalah putra dari Muhammad Arsyad Petta Cambangnge Arung MaloloE ri Sidenreng, dan ibu bernama I Nomba Petta Mabbola Saddae Datu Pammana. La Toacalo bersaudara se-ibu dan se-bapak dengan La Panguriseng Addatuang Sidenreng X, To Appatunru Karaeng Boroanging, La Cincing Akil Ali Karaeng Mangeppe, Pilla Wajo, Datu Pammana, Arung Matoa Wajo XXXIX, dan Iskandar Manujengi Karaeng Kile Petta Pilla'E ri Wajo.

Muhammad Arsyad Petta Cambang'E, adalah anak Mattola dari La Wawo Addatuang Sidenreng, Arung Tempe, Arung Maiwa, Arung Berru X, dari istrinya yang bernama I Bubeng Karaeng Pabineang. La Wawo Adalah putra dari Toappo Addatuang Sidenreng, Arung Berru VIII, dari ibu yang bernama I Tungke Arung Tempe. Toappo putra dari Toagemette Arung Ajjaling Petta Ponggawa Bone, dari istrinya yang bernama I Rukkiah Kr Kanje'ne Addatuang Sidenreng, Arung Berru VII, putri La Mallewai Addatuang Sidenreng dan Arung Berru V. Toagemette adalah putra Toancalo Petta Ponggawa Bone, anak dari La Maddaremmeng Arumpone XIII, dari istrinya Arung Manajeng.

*kami akan senantiasa menyempurnakan data silsilah ini. kesempurnaan senantiasa adalah milik Allah S.W.T.

TAMAT
_________________________

Penulis telah merestorasi beberapa bagian dari catatan milik Haji La Sikandare' Petta Karaeng Pajujungi Arung Amparita, dengan tanpa merubah substansi dari rangkaian isi riwayat asli, agar lebih mudah dipahami & dimengerti oleh semua kalangan.

Andi Sulolipu Petta Pabbicara Amparita (1900-1947)


"Sejarah tidak selalu ditentukan oleh peran seseorang diukur dari berapa kali ia menembakkan senapan atau pistolnya kearah bandit-bandit Belanda"
(Penulis)

Berbicara tentang sejarah Sulawesi Selatan, terkhusus sejarah di Sidenreng Rappang, belumlah lengkap apabila tidak menyebut tokoh yang satu ini. Perannya didalam perjuangan Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan adalah peran yang turut memberikan warna bagi sejarah Bangsa dan Negara, terutama di wilayah Ajatappareng, Sulawesi Selatan. Keputusannya untuk menolak bekerjasama dengan penjajah belanda, melahirkan pemahaman tentang betapa arti dari suatu kebebasan sangat berbanding terbalik dengan keterkungkungan selama 300 tahun penjajahan. Sebagai seorang bangsawan tinggi dengan jabatan Pabbicara, apalagi sebagai ketua Pampawa Ade' (kepala hadat sidenreng), ia dianggap sebagai orang yang bisa memimpin masyarakatnya untuk lepas dari 'keterpenjaraan'. Ia mempunyai kewenangan untuk menegur atau mengingatkan Raja dan rakyat yang dicintainya, apabila telah keluar dari rel, berdasarkan fungsi dan tugasnya sebagai penyelenggara negara (kerajaan). Ia semata-mata hanya ingin menciptakan kesadaran bahwa perubahan akan segera terjadi, cepat atau lambat. Kemerdekaan yang dianggap Belanda sebagai sesuatu yang mustahil bagi 'bangsa bodoh dan terbelakang', dijadikan-nya bak lecutan cemeti (cambuk) untuk menyadarkan rakyat agar terlepas dari dogma sesat tersebut.

Andi Sulolipu Petta Pabbicara Amparita, yang juga biasa dipanggil Andi Abdullah, dilahirkan pada tahun 1900, dari bapak yang bernama La Pakerrangi Petta Pabbicara Sidenreng, dan ibu bernama I Tangkung Puatta Daenna, pada suatu wilayah di Kerajaan Sidenreng yang bernama perkampungan Amparita lama.

Pada tahun 1905, pasukan Belanda memasuki wilayah Aja'tappareng, yang membuat situasi menjadi mencekam dan terjadi ketegangan dimana-mana. Kegentingan itu telah dirasakan pula oleh La Sulolipu yang justru ketika itu masih kanak-kanak (5thn). Dan memang pada akhirnya hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan takluk oleh Belanda pada tahun 1906. Peristiwa ini adalah pengalaman hidup yang tanpa disadari bisa menjadi renungan bagi bocah La Sulolipu untuk menatap jauh kedepan.
(baca riwayat Pakerrangi)

Pada tahun 1916, ketika masih remaja, dinikahkan dengan perempuan bernama Andi Maisuri, putri dari Karaeng Cakki (Petta Haji Cakki). Petta Haji Cakki, salah seorang putera dari Mahmud Paranrengi Petta Bau Cambang. Petta Bau Cambang, bersaudara se-bapak dengan Ishaka Manggabarani Arung Matoa Wajo, karena mereka adalah putera dari Toappatunru Karaeng Beroanging, dari ibu yang berbeda. Arung Matoa Wajo adalah putera We Sompa Karaeng Tanete. Sedangkan Petta Bau Cambang adalah putera dari We Makkaratte, salah seorang puteri dari Arung Berru.

Dari pernikahan tersebut, melahirkan:

1. Andi Mappawekke, Kepala Pemerintahan Swapraja Sidenreng, menikah dengan Hj. Andi Cenceng (Hj. Puang Cenceng).
2. Hj. Andi Sennang, menikah dengan Andi Ronda Petta Pabbicara Arawa.
3. Hj. Andi Mapparola, menikah dengan Letnan. Andi Maramat, seorang pejuang bugis yang pernah bergerilya di tanah Jawa.
4. H. Andi Ismail Ismen, Arung Batu, menikah dengan Hj. Andi Bunga Pandang, adik dari H. Andi Patonangi mantan Bupati Pinrang.
5. Andi Camming, menikah dengan H. Andi Iskandar Pajujungi Arung Amparita.
6. Andi Mahmud, menikah dengan Andi Siangka.
7. Andi Bulaeng, menikah dengan Andi Cakkudu.
8. Andi Tate, menikah dengan Andi Radeng.
9. Andi Sohra, menikah dengan Drs. A.H. Baso.


Salah seorang diantara turunan-nya tersebut akan memerintah Sidenreng dengan status daerah otonomi, yakni Andi Mappawekke, Kepala Pemerintah Swapraja Sidenreng, pada tahun 50-an.

Pada tahun 1939, Andi Sulolipu menikahi Andi Hanisuh (Puang Hane), putri Andi Ahmad Petta Enrekang, dan dikaruniai seorang putra yang bernama Andi Hatta.

Andi Sulolipu memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (Volksschool) selama 3 tahun di Amparita. Dan lanjut pada Sekolah Gouvernement Klas 2 (Vervolgschool) di Rappang, hingga tamat sekolah tersebut pada tahun 1912. Adalah sesuatu yang lazim pada masa itu jika seorang Bumi Putera telah menamatkan pendidikannya pada sekolah belanda akan dipekerjakan sebagai Pegawai Pemerintah (Ambtenar). Dengan melalui seleksi, ia kemudian menjadi Kepala Penjara Pare-Pare (Sipir), pada tahun 1914. Pekerjaan ini dilakoni-nya hingga beberapa tahun lamanya.

Pada tahun 1917, La Pakerrangi Petta Pabbicara Sidenreng, bapak dari Andi Sulolipu, wafat di Saoraja Bolamamminasae, Arateng, Amparita Lama. Ia adalah salah seorang Pahlawan Kerajaan Sidenreng di Perang Belo (Melawan Soppeng), dan Perang melawan Belanda, pada tahun 1905. Agar tidak terjadi kekosongan, oleh La Cibu Addatuang Sidenreng XIII, Andi Sulolipu kemudian dilantik menjadi Pabbicara Amparita menggantikan La Pakerrangi pada tahun 1917. Ini didasarkan atas penilaian bahwa ia mempunyai kecakapan dan wibawa seperti bapaknya itu.

Adapun tanggung jawab yang diberikan oleh Addatuang Sidenreng, didasarkan pada fungsi dan tugasnya sebagai Penyelenggara Negara (Kerajaan), adalah pada bidang:
1. Pemerintahan dan Hukum,
2. Ketua Hadat Tinggi Sidenreng, disamping Addatuang,
3. Ketua Badan Pertimbangan Pemerintah Kerajaan Sidenreng.

KEGIATAN DI BIDANG SOSIAL & PENDIDIKAN.
Pada tahun 1930, Andi Sulolipu mendirikan satu Perkumpulan atau Yayasan dengan nama Perkumpulan Nasrulhaq. Yayasan inilah pada tahun 1931 mendirikan Sekolah Nasrulhaq I, yang berpusat di Amparita dan didirikan pula cabang2nya di Teteaji, Massepe, Allakuang dan Pangkajene. Sekolah ini dipimpin oleh seorang ulama terkenal pada masa itu bernama K.H. Muhammad Yafie (Ayah Prof K.H. Ali Yafie, mantan ketua MUI). Ini semua didasari oleh keprihatinan Andi Sulolipu terhadap jumlah sekolah yang masih sangat terbatas pada waktu itu. Sekolah yang didirikan Belanda peruntukannya sebatas pada kalangan anak2 berkulit pucat (anak belanda) dan sedikit anak dari golongan bangsawan tinggi di pemerintahan. Dengan mendirikan sekolah sendiri, ia bisa menampung anak dari berbagai kalangan dan mendatangkan guru2 yang berpaham nasionalis dan keislaman. Pada saat saat tertentu, atas perintah Andi Sulolipu, para guru secara sembunyi sembunyi mengajarkan mereka pemahaman tentang kecintaan terhadap tanah air dan bangsa (Nasionalisme).

Berselang beberapa tahun kemudian, didirikan pula Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiah yang dipimpin K.H. Zainal Abidin, seorang ulama karismatik dari Mandar. Beliau disertai dua muridnya yang merangkap sebagai pembantu2nya, yakni: Abdul Wahab dan Abdul Razak. Konon kabarnya, makam ulama besar ini sangat dikeramatkan di Kec. Pammana, Wajo.

Pada tahun 1937, Andi Sulolipu mendirikan lagi sebuah sekolah yang diberi nama Sekolah Nasrulhaq II (Tweede Nasrulhaq School) yang mata pelajarannya sama dengan H.I.S dan Schakelscholl, ditambah dengan mata pelajaran Agama Islam. Atas anjuran dan saran dari Tuan Habibie (Ayah Prof. B.J. Habibie, mantan Presiden RI), didatangkan pengajar dari Gorontalo yang masih kerabat dekat mereka, seperti: Usman Isa, Ny. Chatibi Usman Isa dan Abbas Mahmud. Seperti yang diketahui, keluarga Habibie pernah menetap dan tinggal di Massepe, 3 km sebelah selatan Amparita.
Karena sekolah ini masih membutuhkan tambahan guru agama, Andi Sulolipu kemudian mendatangkan Ustadz Abu Salim Alamsyah asal Minangkabau, dan seorang Ustadz asal Mandar yang tidak tersebutkan namanya dalam cacatan. Sekolah ini berjalan lancar selama 5 tahun, hingga pecahnya Perang Dunia II. Meski demikian, Andi Sulolipu telah mempersiapkan murid murid tersebut untuk melanjutkan pendidikannya pada sekolah MULO dan CIBA di Makassar.

Untuk mendirikan dan membangun sekolah, ditambah dengan membayar gaji para guru, dari tahun 1931 s/d 1942 (11 tahun), Andi Sulolipu telah menggadaikan sanra putta sawahnya kepada Said Sadik Alidrus, sejumlah 10 Ha (7 Ha, di Laulaweng Amparita & 3 Ha, di Labuaja Lawawoi). Ini dilakukannya dengan ikhlas tanpa mengharapkan pamrih. Semata-mata hanya ingin menyumbangkan sesuatu untuk bangsa dan tanah air yang masih mejadi bayangan di pelupuk matanya.

Beberapa anak didik dari sekolah yang didirikan Andi Sulolipu, yang kemudian sukses menjadi Kepala Pemerintahan, antara lain:

1. Andi Mappawekke, Kepala Pemerintah Swapraja Sidenreng, tahun 50-an. Puteranya sendiri.
2. Haji Andi Patonangi, mantan Bupati Pinrang, bapak Andi Aslam Patonangi, Bupati Pinrang saat ini.
3. Kol (Purn). Haji Opu Sidik, Bupati Sidrap dua periode, 1978-1988. dll.

"Sejarah akan mencatat nama beliau sebagai Pelopor Pendidikan di Sidenreng Rappang". Berkata Andi Iskandar Petta Amparita pada suatu waktu.

KEGIATAN DI BIDANG PARTAI & ORGANISASI PERJUANGAN.
Andi Sulolipu menjabat sebagai Pengurus dan Penasehat Partai Sarekat Islam (PSI) Cabang Teteaji. Pada Kongres PSI di Teteaji, ditahun 30-an, Pimpinan Pusat Haji Omar Said Tjokroaminoto datang dan berkunjung atas undangan Panitia Kongres. Kedua tokoh sempat bertemu dan melakukan perbincangan. Dalam perbincangan itu, HOS Tjokroaminoto menitipkan harapan dan pesan kepada Andi Sulolipu, agar perjuangan PSI didalam menuntut Kemerdekaan Indonesia selayaknya mendapatkan dukungan yang semakin luas di kalangan masyarakat, terutama kelompok aristokrat tinggi (Bangsawan) seperti halnya dengan Andi Sulolipu Petta Pabbicara Amparita.

Terbukti dikemudian hari, Andi Sulolipu sangat konsisten dengan sikap perjuangannya, hingga wafatnya di tahun 1947.

Pada awal bulan September 1945, Andi Sulolipu ke Makassar untuk menemui DR. Sam Ratulangi. Dimana pada saat itu beliau baru saja pulang dari Jakarta untuk menghadiri Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam pertemuan itu, Andi Sulolipu mengemukakan rencananya untuk mendirikan Partai Nasional Indonesia di Sidenreng Rappang, yang berpusat di Amparita (Kec. Tellu Limpoe, Sidrap, saat ini). Dengan tujuan untuk menghimpun massa rakyat didalam satu wadah organisasi demi menghindari pengaruh2 negatif dari kalangan anti republikein.

Rencana dan gagasan Andi Sulolipu itu disambut baik oleh Sam Ratulangi yang telah diberi mandat oleh Presiden Soekarno sebagai Gubernur Sulawesi. Setelah memberikan amanah dan masukan2 yang berharga kepada Andi Sulolipu, maka Sam Ratulangi memerintahkan staf pembantunya Mr. Tadjuddin Noor untuk menyertai Andi Sulolipu ke Amparita membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI).
Dengan melalui suatu komite, tersusun pengurus partai,sbb:

Ketua Umum : Andi Sulolipu,
Ketua I : Andi Abu Bakar,
Ketua II : Callakara,
Penulis I : Andi Maramat,
Penulis II : La Pabbola
Penulis III : Andi Iskandar,
Bendahara I Adama, dan
Bendahara II : Andi Baharuddin.

Disamping pengurus harian tersebut diatas, partai ini dilengkapi pula dengan pembantu2, seperti:

1. Bidang Penerangan dan Propaganda,
2. Bidang Sosial,
3. Bidang Perhubungan,
4. Bidang Perlengkapan,
5. Bidang Perlawanan dan Pengerahan Massa, dan
6. Bidang Tata Usaha dan Pendaftaran Anggota.

Berdirinya Partai Nasional Indonesia di Amparita, Sidenreng, dalam waktu singkattelah tersebar luas di masyarakat. Maka mulailah rakyat mendatangi kantor PNI, untuk mendaftarkan diri menjadi anggota, seperti dari Maiwa Enrekang, Soppeng, Pinrang, Wajo, dll.

Pada bulan Oktober 1945, Andi Sulolipu sebagai Ketua Umum PNI, mengundang tokoh2 Pejuang Kemerdekaan Sidenreng Rappang untuk menghadiri rapat yang diadakan di Amparita, yang dihadiri oleh:

1. Andi Cammi dan Andi Nohong, dari Rappang,
2. Andi Takko, dari Tanru Tedong,
3. Andi Nemba, dari Pangkajene,
4. Andi Abdul Latif, dari Bilokka,
5. Abdul Gani Rasul, dari Massepe,
6. M. Abduh Pabbaja, dari Allakuang,
7. Kepala Laupe, dari Wette'E, Wanio.

Para pejuang ini hadir di Amparita ditemani oleh rekan2nya dalam satu rombongan.

Ada 3 (tiga) keputusan penting yang diambil dalam rapat yang dipimpin Andi Sulolipu tersebut, yakni:

1. Secara resmi & protokoler Bendera Merah Putih dinaikkan.
2. Membagi Daerah Pertahanan di Sidenreng Rappang menjadi 2 (dua) wilayah:
a. Wilayah Utara Pangkajene sampai Rappang & sekitarnya adalah Daerah Operasi B.P. GANGGAWA dibawah pimpinan Andi Cammi & Andi Nohong.
b. Wilayah Pangkajene ke Selatan sampai Bilokka & sekitarnya adalah Daerah Operasi KRIS MUDA dibawah pimpinan Yusuf Rasul & Rachman Tamma.
3. Mendukung sepenuh pengangkatan Dr.Sam Ratulangi menjadi Gubernur Sulawesi.

Setelah rapat selesai, maka seluruh peserta mengambil tempat di pekarangan RUMAH ADAT BOLA LAMPE'E untuk mengikuti Upacara Penaikan BENDERA MERAH PUTIH diiringi dengan lagu INDONESIA RAYA.

Peristiwa ini adalah peristiwa bersejarah di Sidenreng Rappang. U/kali pertama secara resmi & protokoler Sang Merah Putih dikibarkan dgn diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, disaksikan oleh para pejuang yg hadir & rakyat yg telah berkerumun memadati halaman.

Pada bulan November 1945, Andi Sulolipu mengadakan Konferensi yg diikuti oleh para Pendukung Kemerdekaan Indonesia, bertempat di Gedung Sekolah Rakyat Amparita. Hadir dlm Konferensi itu ialah tokoh2 pejuang utusan daerah Enrekang, Wajo, Soppeng, dll. Keputusan yg diambil adalah:
Menolak kembalinya penjajahan di bumi Indonesia. Serta siap menentang & melawan dgn kekuatan yg ada pada diri sendiri. Diputuskan pula bahwa pengangkatan Dr.Sam Ratulangi menjadi Gubernur adalah sah.

DIBERHENTIKAN DARI JABATAN PABBICARA.
Aktivitas Refresif yg dilakukan Andi Sulolipu didalam upaya mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak disetujui Pemerintah Kerajaan Sidenreng & Belanda waktu itu. Beliau sering dipanggil hanya untuk dinasehati agar ia sadar & lebih memusatkan pikiran pada tugas2 pokoknya di pemerintahan. Hal ini menimbulkan kekecewaan Andi Sulolipu terhadap beberapa rekannya sesama kaum aristokrat yg duduk di pemerintahan. Mereka lebih memilih u/melanjutkan kerjasama dgn pihak Belanda, demi mengamankan jabatan daripada ikut berjuang. Beruntung kekecewaan itu terobati oleh sikap Patriot yg ditunjukan kalangan muda yg dimotori oleh Andi Cammi & Yusuf Rasul, dkk.

Akibat sikap yg dinilai keras kepala & membangkang,
pada bulan Mei 1946, A. Sulolipu diberhentikan dari jabatannya selaku Pabbicara Amparita. Pemberhentian tsb dlm waktu singkat telah diketahui secara luas dikalangan rakyat. Hingga kawan2 seperjuangan silih berganti datang u/menyatakan simpati & keprihatinan. Ketika ditemui, A. Sulolipu mengatakan, "Sekarang ini saya adalah rakyat biasa. Kedudukan saya selaku Pabbicara telah ditanggalkan, maka oleh karena itu tibalah saatnya sekarang ini saya bersiap2 menunggu kedatangan Belanda u/menangkap saya. Itu pasti akan terjadi. Itulah resiko atas keyakinan & pendirian saya. Kalau besok atau lusa saya ditangkap Belanda, jangan harapkan saya akan kembali. Tetapi tunggulah kabar kematian saya. Saya telah ikhlas. Kepada kawan2 seperjuangan saya, agar perjuangan kita yg suci murni ini diteruskan, Insya Allah & yakinlah bahwa penjajah belanda akan segera terusir dari Negara kita ini. Tinggal menunggu waktunya".

DIPANGGIL OLEH ASSISTENT RESIDENT PARE-PARE & DIBUJUK AGAR MAU KEMBALI BEKERJA SAMA.
Pada suatu hari di bulan November 1946, Andi Sulolipu dipanggil oleh Assistent Resident Pare-Pare u/menghadap. Ia berangkat bersama dgn saudara2nya: H.A.NURDIN, H.A.ABU BAKAR, H.A.CAMBOLANG, dan putra sulungnya ANDI MAPPAWEKKE. Assistent Resident membujuk & mengatakan kepada Andi Sulolipu, "Hai, Tuan Pabbicara, bagaimanakah pendirian tuan, saya rasa lebih baik tuan Pabbicara bersedia & mau kembali bekerja sama dgn kami. Kalau bersedia kita akan bayar kembali semua gajinya & kita akan berikan pangkat yg lebih tinggi lagi". Bujuk Assistent Resident.
Mendengar kata2 bujukan itu, maka Andi Sulolipu menjawab, "Paduka tuan Assistent Resident, saya tidak bersedia lagi kembali memangku jabatan Pabbicara, saya tidak mau lagi bekerja sama dengan tuan2 Belanda. Saya sekarang bersama2 dengan rakyat mau merdeka sekalipun akan menanggung resiko yg paling berat". Mendengar jawaban tersebut maka gagallah Assistent Resident Pare-Pare u/membelokkan keyakinan & pendirian Andi Sulolipu.

Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Assistent Resident Pare-pare, maka pada bulan itu juga, November 1946, bertepatan dengan bulan Ramadhan, jam 4 sore, beberapa orang POLISI MILITER (M.P.) Belanda dengan mengendarai sebuah Jeep datang ke Amparita u/menangkap Andi Sulolipu. Setelah melakukan menggerebekan di Rumah Adat Bola Lampe'E, dan tidak menemui yg sedang dicari, mereka kemudian mendatangi rumah Andi Sulolipu yg lainnya didekat Lapangan Sepakbola Amparita (Sekarang Madrasah DDI) yg menjadi kantor P.N.I. dan tempat yg biasa dipakai para pejuang untuk berkumpul. Polisi Militer langsung naik kerumah & disambut oleh Andi Sulolipu seraya mengatakan, "Barangkali tuan tuan M.P. ini datang kemari untuk menangkap saya, "Dan dijawab oleh M.P. Belanda, "Betul tuan, kami diperintahkan untuk menjemput tuan".
Ia kemudian menyuruh istrinya, Andi Hanisuh, memberikan beberapa pasang pakaian, sarung, sajadah, dan Kitab Suci Al-qur'an kesayangannya karangan HAJI MUHAMMAD YUNUS. Setelah pamit kepada keluarga & seluruh isi rumahnya, ia kemudian mencium anak bungsunya ANDI HATTA dengan penuh kasih & haru. Iapun turun dari rumah dan berseru kepada orang2 yg telah berkerumun di pekarangan :

"Teruskan Perjuangan Kita & Pertahankan Kemerdekaan Kita, Insya Allah, Tuhan Akan Bersama Kita!"

Pada hari itu pula M.P. Belanda singgah ke Pangkajene & menangkap Andi Nemba. Keduanya dibawa ke Pare-Pare dan ditahan disalah satu rumah tahanan. Setelah beberapa hari ditahan di Pare-pare, keduanya kemudian dibawa ke Makassar dan masuk kedalam Rumah Tahanan KISKAMPEMENT (Tangsi Kis). Disanalah mereka ditawan bersama sama dengan Pejuang pejuang yg telah terlebih dahulu ditangkap, Seperti:
ANDI ABDULLAH BAU MASSEPE, ANDI MAKKASAU, USMAN ISA, dan saudara kandungnya HAJI ANDI ABU BAKAR, dll.

Setelah beberapa bulan lamanya mereka ditawan di Makassar, mereka kemudian dipindahkan lagi ke Kariango Suppa (Pinrang). Disinilah para pejuang mendapatkan siksaan yg berat dan keji dari Pasukan Baret Merah WESTERLING. Penyiksaan yg tanpa mengindahkan hukum2 kemanusian. Namun, para Pejuang Pembela Negara itu tetap teguh & tidak berubah keyakinan dan pendiriannya.

Sejarah mencatat, inilah peristiwa terpahit yg menimbulkan trauma pada rakyat Sulawesi Selatan. Ada 40.000 jiwa yg masih menunggu pengakuan dosa atas kejahatan terhadap kemanusiaan yg dilakukan Pemerintah Kerajaan Belanda ketika masih menancapkan kuku2 penjajahan di Bumi Pertiwi. Tapi... Pengakuan itu...

Menurut kesaksian yang banyak beredar di kalangan masyarakat Sulsel, kematian indah (SYAHID) para pejuang itu, antara lain :
1. Dijejerkan dan kemudian di tembak,
2. Ditenggelamkan di laut,
3. Dikubur hidup hidup, dan
4. Diseret/ditarik dengan tali tambang oleh mobil jeep yang berlari kencang.
(Na'udzubillah)
"Pemerintah Kerajaan Belanda wajib meminta maaf 40.000 kali kepada Rakyat Sulawesi Selatan...!!! Titik!!"

Hingga akhirnya...
Andi Sulolipu mungkin mempunyai rencana besar untuk Negara yang dicintainya ini, tapi Allah telah menentukan takdir hidupnya. Pada akhirnya semua yg merasakan hidup akan mati. Demikian halnya dengan Andi Sulolipu Pabbicara Amparita. Ia kini telah terbaring diantara ribuan kawan2 seperjuangan yg telah berpulang akibat menjadi korban kekejaman. Ia mengakhiri hidupnya dengan membawa serta keyakinan & pendiriannya yg teguh, kokoh untuk tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Tidak ada yg mengetahui kapan & dimana ia ditembak, atau dimana ia dikuburkan. kalau ditenggelamkan dimana lautannya. "Ia... Hilang tak tentu rimbanya."

PENGHORMATAN ATAS JASA JASANYA KEPADA BANGSA & NEGARA.

1. Untuk menghormati perjuangan Andi Sulolipu atas jasa jasa yg telah diberikan kepada Nusa, Bangsa, dan Negara, Pemerintah telah menganugrahkan gelar kehormatan sebagai "PAHLAWAN PEJUANG KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA" Dan Pemerintah Kabupaten Sidenreng Rappang telah membangunkan sebuah MONUMEN PERJUANGAN ANDI SULOLIPU di Amparita, ditempatkan pada jalur Jalan Raya Pangkajene-Soppeng.

2. Monumen Andi Sulolipu diresmikan oleh bapak HAJI ANDI SALIPOLO PALALLOI, Bupati Kepala Daerah tingkat ll Sidenreng Rappang, pada tanggal 10 Agustus 1998, di Amparita, didampingi oleh bapak HAJI OPU SIDIK mantan Bupati Sidrap, bapak HAJI ANDI ISKANDAR PAJUJUNGI Petta/Arung Amparita & bapak HAJI USMAN BALO Ketua LVRI Kab. Sidrap. Turut hadir pula para anggota Muspida, Tokoh2 Veteran & Angkatan '45 Kab. Sidrap serta Pemuka Masyarakat di Amparita.

3. Pada malam harinya diadakan pula pengajian Al-Qur'an & tahlilan dirumah kediaman Andi Sulolipu "Rumah Adat Saoraja Bola Lampe'E" Amparita. Pada keesokan harinya, dilaksanakan pemasangan batu nisan Andi Sulolipu (secara simbolis), di pemakaman keluarga "Andi Pakerrangi Pabbicara Sidenreng"
(Kubburu' Bola Batue Amparita)

TAMAT
____________________________________

Blog ini di dedikasikan kepada Almarhum Haji Andi Iskandar Pajujungi (1926-2008)
Petta/Arung Amparita 1950 s/d 1962. (Penulis asli riwayat Andi Sulolipu)

Semua foto telah dilindungi hak cipta (terkecuali Westerling & pasukannya). Silakan di download untuk koleksi pribadi. Dilarang keras untuk mempublikasikannya. Terima kasih ...