Rabu, 09 September 2009

La Pakerrangi Petta Ponggawa Lolona Sidenreng


Sidenreng Rappang pernah mencatatkan sejarah sebagai kerajaan berdaulat yang pernah melawan hegemoni penjajahan Belanda pada masa pemerintahan La Sadapotto Addatuang Sidenreng XII, dan Arung Rappang XX, Pada tahun 1905. Dimasa itu, ratusan prajurit pemberani gugur akibat terkena peluru senapan dan hunjaman peluru meriam. Belum terhitung rakyat di kerajaan tersebut yang menjadi korban akibat dari dampak peperangan. Perang yang telah mengubah Sidenreng Rappang menjadi medan pertempuran harga diri, harkat martabat (siri') dari para patriot patriot sejati kerajaan tersebut.

Salah seorang aktor yang memegang peranan penting dalam peristiwa itu adalah La Pakerrangi yang akan kami tuliskan riwayat singkatnya berdasarkan catatan yang ditulis oleh Haji La Sikandare' Petta Karaeng Pajujungi Arung ri Amparita (1950-1962).

La Pakerrangi dilahirkan pada tahun 1870, dari ayah bernama Mayoor La Rumpang (Petta Manyoro'E ri Sidenreng) yang berasal dari kampung Maiwa, Enrekang. Beliau tak lain adalah salah seorang Panglima Perang Kerajaan Sidenreng pada era La Panguriseng Addatuang Sidenreng X. Dengan ibu yang bernama I Temmalala, perempuan bangsawan yang berasal dari perkampungan Amparita Lama yang berada pada wilayah Kerajaan Sidenreng pada masa itu.

Pada tahun 1887, ketika masih berumur 17 tahun, menikah dengan perempuan yang bernama I Tangkung Puang Banna, yang biasa dipanggil oleh keturunannya dan masyarakat sekitarnya dengan nama Puatta Daenna. Beliau adalah anak dari keluarga bangsawan La Wettoweng dan Syarifah Sochrah Puatta Indo'na, yang biasa dipanggil dengan nama Puatta Adjie. La Pakerrangi bersama istrinya tinggal di Saoraja BolamamminasaE di kampung Arateng, Sidenreng.

La Pakerrangi telah menampakkan jiwa kepemimpinan ketika masih kecil. Ia sangat menonjol dikalangan rekan-rekan sebayanya sesama anak arung, dan pandai pula memikat hati masyarakat, sehingga orang-orang dari kalangan rakyat biasa sangat mencintainya. Hingga disaat dewasa, beliau terkenal berjiwa patriot, jujur, takwa dan pemberani.

Maka ketika La Sadapotto dinobatkan menjadi Addatuang Sidenreng XII, dan Arung Rappang XX, Iapun mengangkat keponakannya tersebut menjadi pembantunya yang lazim dimasa itu disebut Pabbicara Sidenreng. La Pakerrangi menggantikan Pabbicara La Tinetta yang wafat di Amparita pada tahun 1889. *Jadi jabatan Pabbicara yang berkedudukan di Amparita diperkirakan lowong (15thn) dimasa Sumange'rukka menjadi Addatuang Sidenreng XI.
*[catatan penulis blog berdasarkan kajian dan analisa yang masih bisa diperdebatkan]

Selama memangku jabatan Pabbicara yang berkedudukan di Amparita, La Pakerrangi dikenal sangat dekat pada masyarakat, taat beribadah sesuai dengan ajaran agama islam yg dianutnya, dan suka bermusyawarah dengan Pangulu Anang (Arung/Matowa) serta Pangulu Maranang (Pemuka Masyarakat), sehingga mampu memberikan solusi2 terhadap persoalan2 yang ada di masyarakat dengan keputusan terbaik bagi rakyat. Baik dari segi hukum, pembangunan infrastruktur, maupun persoalan pertanian yang menjadi andalan pada masa itu. Dia pula sangat disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan, karena dalam melaksanakan tugas tugas pemerintahan beliau dikenal tegas, adil dan bijak. Ia mampu mengemban amanah sebagai Pabbicara dengan baik dan lancar.

Adapun tugas-tugas yg pernah diberikan oleh Addatuang La Sadapotto, antara lain membangun hubungan transportasi darat dari Sidenreng ke Pare-Pare, yaitu:

1. Membuat jalan raya dari Allakuang ke Pare-Pare dengan melalui poros Allakuang, Talumae, Cela, Lempong Manila, hingga tembus ke Pare-Pare.
2. Membuat poros jalan Lawawoi, Bangkai, Patommo, Pabbaresseng, sampai ke Pare-Pare.

Pada waktu terjadi perselisihan antara Kerajaan Sidenreng dengan Kerajaan Soppeng, La Pakerrangi dipercayakan untuk memimpin pasukan mendampingi pamannya La Mammo sebagai Panglima, untuk melawan orang-orang Soppeng, dan pulang dengan membawa kemenangan. Kerajaan Sidenreng yang didukung oleh Kerajaan Wajo, sukses memporak-porandakan kerajaan tersebut (Musu Belo).

Pada tahun 1905, ketika Pasukan Belanda telah memasuki kota Pare-Pare, La Pakerrangi diperintahkan oleh La Sadapotto untuk membentengi daerah perbatasan Sidenreng Rappang, agar pasukan Belanda tidak dapat masuk melalui kota Pare-Pare.
Ada 3 jalur yang harus dibendung dan dipertahankan oleh 3 Pabbicara Sidenreng sebagai Pimpinan Pasukan, yaitu:

1. Pabbicara La Mammo. ditempatkan disebelah timur Pare-Pare (jalur tengah).
2. Pabbicara Ambo'na La Badju. ditempatkan di daerah La Djawa (jalur selatan).
3. Pabbicara La Pakerrangi. ditempatkan di Aggalacengnge. Sebelah timur Kerajaan Suppa (jalur utara).

Salah seorang dari 3 Pabbicara ini gugur ketika menjalankan tugasnya. Adalah Pabbicara Ambo'na La Badju yang gugur sebagai pahlawan ketika hendak menghalau pasukan belanda untuk masuk ke wilayah Sidenreng Rappang. Pertahanannya dijalur sebelah selatan bobol akibat pengkhianatan salah seorang Kapten-nya.
*[Lontara; Sidenreng ricau belandae nasaba' bali'na kapitang ..... ]

Berita tentang gugurnya Pabbicara Ambo'na La Badju telah sampai ke Addatuang La Sadapotto, yang dengan segera mengirimkan pesan kepada Pabbicara La Pakerrangi yang berada di front terdepan, agar secepatnya pulang untuk diserahi tugas sebagai Panglima Pasukan Pengawal didalam menjaga keselamatan Addatuang Sidenreng/Arung Rappang La Sadapotto dengan segenap keluarganya.

Tugas ini berakhir setelah Addatuang Sidenreng/Arung Rappang La Sadapotto, menandatangani Pernyataan Singkat dengan pihak Belanda (Korteverklaring) pada tahun 1906, yang menandai kekalahan perang "Kerajaan Kembar" itu dari Pemerintah Kerajaan Belanda. Perang berakhir setelah berlangsung selama ratusan hari.

Dalam suatu kesempatan, Pabbicara La Mammo, Petta MatoaE, Petta PanguluE, Panglima Utama Pasukan Kerajaan Sidenreng Rappang, pernah berkata, "Kalau saya meninggal dunia, hanya La Pakerrangi saja yang bisa menggantikan saya sebagai Panglima". Tapi sejarah kemudian berkata lain. Sebelum dinobatkan menjadi Panglima Tertinggi Kerajaan, La Pakerrangi telah terlebih dahulu wafat daripada La Mammo. Sehingga era Panglima Perang di Kerajaan Sidenreng Rappang berakhir setelah mangkatnya Petta Pabbicara La Mammo Petta PanguluE.

La Pakerrangi wafat di Amparita pada tahun 1917. Menurut penuturan berbagai sumber, beliau telah mengalami sakit sejak lama akibat terluka dalam ketika bertempur dengan pasukan belanda. Beliau menghembuskan nafas terakhir pada usia 47 tahun, dengan didampingi oleh seluruh anggota keluarga yang sangat mencintainya, antara lain: Istri tercinta Puatta Daenna, Mertua perempuannya Puatta Adjie, putranya: Andi Sulolipu, Andi Abu Bakar, Andi Nuruddin yang ketika itu masih berumur dua tahun, dll. Disamping duka yang teramat dalam tersebut, terdapat satu riwayat yang diceritakan oleh keluarganya tentang berita kelahiran cucu pertama dari La Pakerrangi bernama Andi Mappawekke. Bayi laki-laki tersebut adalah anak dari Andi Sulolipu (Putera La Pakerrangi) yang merupakan satu-satunya cucu yang beruntung mendapatkan belaian tangan dari sang kakek. Dan kelak dikemudian hari, cucu pertamanya tersebut akan memerintah Sidenreng sebagai Kepala Pemerintah Swapraja Sidenreng (KPS).

La Pakerrangi dimakamkan dengan upacara kebesaran, sebagaimana layaknya seorang bangsawan tinggi yang pernah menduduki jabatan jabatan penting di pemerintahan. Turut hadir Keluarga Besar Kerajaan Sidenreng yang dihadiri langsung oleh La Cibu Addatuang Sidenreng XIII. Beliau dilepas dengan tangis dan haru oleh keluarga dan masyarakat yang mengaguminya.

Berselang beberapa tahun setelah wafatnya, Andi Sulolipu yang ketika itu menjabat sebagai Pabbicara Amparita, berinisiatif untuk memindahkan Saoraja BolamamminasaE yang ada dikampung Arateng, ke Amparita berdampingan dengan rumahnya sendiri Saoraja Bola Lampe'E. Ini dilakukan agar I Tangkung Puatta Daenna (ibunya) bisa membimbing cucu-cucunya agar kelak menjadi pemimpin. Dan yang lebih utama adalah agar beliau senantiasa berada dalam pengawasan dan limpahan kasih sayang dari anak anaknya.

Jika La Pakerrangi masih hidup, ia akan bangga dengan anak keturunannya. Karena "Wija" dari pahlawan ini adalah pejuang pejuang gigih yang rela mempertaruhkan jiwa dan raganya demi bangsa dan negara. Dua anak La Pakerrangi tercatat dalam Arsip Sejarah Nasional di Sulawesi Selatan, sebagai "Pahlawan Pejuang", yang gugur akibat pembantaian Westerling. Mereka adalah Andi Sulolipu Pabbicara Amparita, dan Haji Andi Abu Bakar. Sementara anaknya yang lain adalah manusia yang berguna di masyarakatnya.
Haji Andi Nuruddin Arung Otting, adalah Penasehat Sidenreng dengan gelar Petta Khadi Sidenreng. beliau dimasanya adalah orangtua bersahaja yang terkenal arif dan bijaksana. Jejak beliau diteruskan oleh putranya yang pernah memerintah Kabupaten Sidenreng Rappang selama 2 periode, yaitu Bapak Haji Opu Sidik (Bupati Sidrap, 1978-1988).
Haji Andi Tjambolang adalah Petta Sulewatang Mallusetasi, yang terkenal cerdik dan pandai. Jejaknya ada pada salah seorang putrinya bernama Andi Tja Tjambolang, mantan anggota DPRD Sulsel 3 periode, dll.

Makam La Pakerrangi Petta Pabbicara Sidenreng, terletak di Komplek Pekuburan Keluarga La Pakerrangi, di Kel. Arateng, Kec. Tellu Limpoe, Kab. Sidrap.

Berkat upaya Bapak Haji Andi Ranggong (Bupati Sidrap, periode 2003-2008), dan dukungan dari segenap keluarga besar La Pakerrangi, telah dilakukan pemugaran besar besaran di areal komplek pemakaman tersebut. Tidak hanya itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidrap, dibawah pimpinan H.A. Ranggong, diawal masa kepemimpinannya, telah pula merehabilitasi rumah peninggalan 2 Pabbicara, yaitu: Saoraja BolamamminasaE milik La Pakerrangi & Saoraja Bola Lampe'E, milik Andi Sulolipu, di Amparita, Sidrap.

SILSILAH LA PAKERRANGI PETTA PABBICARA SIDENRENG

La Pakerrangi adalah putra La Rumpang Petta Manyoro'E ri Sidenreng, dan ibu yang bernama I Temmalala, putri dari La Pakkampi Arung Amparita dari istrinya yang bernama Besse Panreng.

La Rumpang bersaudara kandung dengan La Naki Arung Maiwa, La Coke Arung Maiwa, dan La Babe Sulewatang Maiwa. Mereka adalah putra dari La Toacalo Arung Maiwa dari istrinya yang bernama I Lante Puang Indo Rasa, putri dari La Malluda Arung Salo Dua. La Malluda adalah anak Puang Maimuna yang bersaudara kandung dengan La Tanro Puang Buttu Enrekang V. Puang La Tanro dan Puang Maimuna adalah anak dari Puang La Tanrang Puang Buttu Enrekang IV. hingga berlanjut keatas sampai kepada To Marajuk Puang Buttu Enrekang I, dengan istrinya yang bernama I Tianglangik Landorundun Puang Makale, putri dari Lolo Allo Puang Makale Toraya. To Marajuk putra dari Kota Puatta Enrekang III dan Pasoloi Arung Timbang Ranga.

Dari garis La Toacalo Arung Maiwa (kakeknya), adalah putra dari Muhammad Arsyad Petta Cambangnge Arung MaloloE ri Sidenreng, dan ibu bernama I Nomba Petta Mabbola Saddae Datu Pammana. La Toacalo bersaudara se-ibu dan se-bapak dengan La Panguriseng Addatuang Sidenreng X, To Appatunru Karaeng Boroanging, La Cincing Akil Ali Karaeng Mangeppe, Pilla Wajo, Datu Pammana, Arung Matoa Wajo XXXIX, dan Iskandar Manujengi Karaeng Kile Petta Pilla'E ri Wajo.

Muhammad Arsyad Petta Cambang'E, adalah anak Mattola dari La Wawo Addatuang Sidenreng, Arung Tempe, Arung Maiwa, Arung Berru X, dari istrinya yang bernama I Bubeng Karaeng Pabineang. La Wawo Adalah putra dari Toappo Addatuang Sidenreng, Arung Berru VIII, dari ibu yang bernama I Tungke Arung Tempe. Toappo putra dari Toagemette Arung Ajjaling Petta Ponggawa Bone, dari istrinya yang bernama I Rukkiah Kr Kanje'ne Addatuang Sidenreng, Arung Berru VII, putri La Mallewai Addatuang Sidenreng dan Arung Berru V. Toagemette adalah putra Toancalo Petta Ponggawa Bone, anak dari La Maddaremmeng Arumpone XIII, dari istrinya Arung Manajeng.

*kami akan senantiasa menyempurnakan data silsilah ini. kesempurnaan senantiasa adalah milik Allah S.W.T.

TAMAT
_________________________

Penulis telah merestorasi beberapa bagian dari catatan milik Haji La Sikandare' Petta Karaeng Pajujungi Arung Amparita, dengan tanpa merubah substansi dari rangkaian isi riwayat asli, agar lebih mudah dipahami & dimengerti oleh semua kalangan.

10 komentar:

  1. Refrensi Ɣªήğ bagus,saya orang amparita...

    BalasHapus
  2. Klw bisa di urutkan silsilahnya sampai keturunan ke tiganya

    BalasHapus
  3. Klw arung lolona rappang dgn arung lolona sidenreng apakah itu sama saja...??? Tabe.... Mohon infonya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak mesti sama. Tergantung kepada para pemangku adat terkhusus untuk kerajaan Rappang. Kerajaan Rappang dalam suksesi kepemimpinan dikenal istilah Imana' Mua Tenri Appamanareng, yang artinya jabatan raja bisa diwarisi, tetapi tidak diwariskan. Dengan demikian Arung Rappeng tidak mesti berasal dari keturunannya. Beda dengan kerajaan tetangganya Sidenreng yang mengharuskan para pemangku adat (matowa) untuk tunduk dan patuh pada sabda rajanya. Jika sang raja menunjuk putera tertuanya sebagai arung malolo... itulah yang menjadi ketetapan. Terkecuali jika ia cacat mental dan fisiknya, pabbicara dan matowa bisa mengingatkan kepada sang raja untuk bisa memilih yang lainnya, seperti adiknya. Terima kasih....

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Sy mau berty kapan andi iskandar petta karaeng jd arung amparita karena informadi dari keluarga kalau yg jadi arung amparita iru mulai dari petta rumpang anak dari la calo arung maiwa dan kemudian dilanjutkan anaknya petta hasan kakak teetua dari petta kerrang atau la pakerrangi baru kemudian anaknya petta hasan dgn cucu addatuang la panguriseng petta nanti maka lahirlah haji andi bau beddu arung amparita terakhir sekaligus kepala distrik dan setelah meninggal hy yg ada petta pabbicara petta wellang bapak dari petta kali atau petta holland mohon penjelasannya karena sy cucu dari haji andi bau beddu dan petta cicu anak arung teteaji (saudaran kandung arung puang mappa arung teteaji) dan sy anak dari petta saribulan anak bungsu dari haji andi bau beddu dan suami sy andi baso nurung anak pertama dari oetta bau beddu yaitu petta nurung(laskat harimau) dan dikibumikan di taman pahlawan panaikang dan anak kedua itu petta abeng istrinya petta rincing arung maroanging.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Toacalo Arung Maiwa ataupun anaknya yang bernama La Rumpang, tidak tercatat pernah menduduki jabatan Arung Amparita. Demikian pula Petta Hasan dan Petta Beddu. Kepala Distrik Amparita (Arung Amparita) pada era Swapraja pada tahun 1950 adalah Haji Andi Iskandar Pajujungi. Jika ingin bertanya lebih lanjut datangki ke Bola Lampe'e.

      Hapus